Sunday, October 28, 2012

KKN


KKN (KORUPSI,KOLUSI,NEPOTISME

Lia Pujianingsih
Sistem Informasi
STTI NIIT I-Tech, Jakarta


ABSTRAKSI

Tulisan ini membahas tentang Korupsi, Kolusi dan Neputisme, atau lebih kita kenal dengan sebutan KKN. KKN adalah segaram bentuk tindakan melanggar hukum yang dapat merugikan negara. Penyebab utama tumbuhnya KKN dalam suatu negara disebabkan oleh kurangnya transparansi pemerintah kepada publik sehingga dapat menyalahgunakan kekuasaan yang ada. Di Indonesia KKN telah menjadi penyakit sosial yang menjamur, hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan pemerintah yang ingin mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahtraan sosial, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat kecil seperti fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar. Banyak sekali dampak dari KKN antara lain, menurunnya tingkat kesejahteraan, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, bahkan rusaknya moral masyarakat.Dari ketiga macam tindakan melanggar hukum dalam KKN yang paling merugikan negara adalah korupsi, karena korupsi adalah tindakan dimana pejabat publik menggunakan kekuasaannya secara tidak legal untuk memperkaya diri sendiri

Kata kunci : KKN, Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Hukum

ABSTRACT

This paper discusses the about Corruption, Collusion and Neputisme, or more we are familiar with designations KKN. Segaram form of corruption is illegal to harm the state. The main causes of corruption in a country's growth is caused by a lack of government transparency to the public so that they can abuse the powers that be. In Indonesia, corruption has become a flourishing social ills, it is quite contrary to the government's goal is to bring about justice, prosperity and social prosperity, and even meet the basic rights of small community groups such as the poor, the elderly and abandoned children. A lot of the impact of corruption, among others, reduced levels of prosperity, the high cost of education and health, the loss of qualified human capital, even the destruction of the three kinds of moral masyarakat.Dari unlawful acts in the most adverse state corruption is corruption, because corruption is an act which the officer public to use their power to illegally enrich themselves

Keywords: Corruption, Collusion and Nepotism Corruption, Law



PENDAHULUAN
Korupsi, Kolusi dan Neputisme, atau lebih kita kenal dengan sebutan KKN. KKN adalah segaram bentuk tindakan melanggar hukum yang dapat merugikan negara. Penyebab utama tumbuhnya KKN dalam suatu negara disebabkan oleh kurangnya transparansi pemerintah kepada publik sehingga dapat menyalahgunakan kekuasaan yang ada. Di Indonesia KKN telah menjadi penyakit sosial yang menjamur, hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan pemerintah yang ingin mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahtraan sosial, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat kecil seperti fakir miskin, kaum jompo dananak-anak terlantar. Banyak sekali dampak dari KKN antara lain, menurunnya tingkat kesejahteraan, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, bahkan rusaknya moral masyarakat.Dari ketiga macam tindakan melanggar hukum dalam KKN yang paling merugikan negara adalah korupsi, karena korupsi adalah tindakan dimana pejabat publik menggunakan kekuasaannya secara tidak legal untuk memperkaya diri sendiri. Dalam kasus korupsi, kebanyakan yang dikorupsi ialah uang negara. Hal ini juga mengakibatkan pembangunan ekonomi negara menjadi sulit sehingga tingkat kesejahtraan rakyat terutama rakyat kecil semakin menurun. Karena tingkat kesejahtraan semakin menurun, rakyat kecil susah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sini timbul tindakan-tindakan kejahatan lainnya seperti pencurian, penjarahan, perampokan bahkan pembunuhan. Hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ini semua adalah dampak dari korupsi yang menimbulkan akibat yang begitu besar bagi kehidupan.
Aktor utama terjadinya korupsi adalah kurangnya transparansi pemerintah kepada publik tentang pengambilan keputusan, pengambilan kebijakan yang tidak memperhatikan rakyat, lemahnya profesi dan tertib hukum. Tidak transparansinya pemerintah dalam mengambil kebijakan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik yang ingin menguntungkan dirinya sendiri. Kebanyakan penyalahan kekuasaan tersebut mengarah pada korupsi yang pada akhirnya nanti dapat menimbulkan kekacauan yang begitu besar, apa lagi dengan lemahnya profesi dan tertib hukum akibat yang ditimbulkan akan lebih besar lagi. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau kurang kritis terhadap pemerintah juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi. Hal ini menyebabkan pejabat publik dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya karena tidak ada tanggapan atau perhatian dari rakyat tentang apa-apa saja kebijakan yang diambil, sehingga pejabat tersebut dapat membuat keputusan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Oleh sebab itu perhatian masyarakat terhadap pemerintah juga harus lebih ditingakatkan untuk menghindari adanya praktik KKN terutama korupsi.
Korupsi (bahasa Latincorruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
§  perbuatan melawan hukum;
§  penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
§  memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
§  merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
§  memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
§  penggelapan dalam jabatan;
§  pemerasan dalam jabatan;
§  ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara);
§  menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuridimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas atau kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi/tidak.
Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya.
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri. Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kolusi di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancer.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.
Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.
Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus baru- baru ini.
Kasus perbankan lain yang cukup menarik perhatian masyarakat adalah LC fiktif yang merugikan Negara sampai 1.7 Triliun, jumlah uang yang cukup fenomental jika dilihat dari jumlah pelaku yang beberapa gelintir saja. Ini lebih besar dari laba bersih setahun yang bisa diraih BNI tahun 2004.
Peraturan yang mengatur bisnis perbankan sudah cukup lengkap. Sebut saja UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Sistem audit baik Internal maupun eksternal juga sudah sedemikian lengkap mengatur pengawasan operasional perbankan. Namun masih saja bisa di cari-cari celah untuk melakukan penyimpangan.
Informasi dari berbagai media menyatakan bahwa jumlah para pelaku kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari kalangan pebisnis di Indonesia masih cukup banyak. Padahal sudah banyak Undang – undang dan aturan yang merupakan rambu–rambu yang mengatur tentang kegiatan usaha .
Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.
Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya.
Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.
Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:
1.   Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
2.   Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif.
3.      Penetapan harga penjualan atau ruislag yang menyimpang.
Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.
Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentinngan pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar dan jalur distribusi.
Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi. Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh keuntungan untuk membiayai kepentingankepentingan politik yang akan mereka raih.
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya.
Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu gerbang tol.
Sonny Keraf membagi pengertian etika menjadi dua, yaitu:
1.    Etika sebagai Moralitas, Etika (Yunani=ethos) = kebiasaan hidup / adat istiadat, berkaitan dengan nilai-nilai. Moralitas (latin=mos)=adat / kebiasaan.n Jadi etika adalah suatu sitem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup yg terwujud dalam pola perilaku ajeg dan terulang dalam kurun waktu lama sebagai kebiasaan.
2.    Etika sebagai ilmu , yaitu ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian diatas.
Posisi teori Etika Bisnis dalam kancah dunia bisnis di Indonsesia Etika bisnis sendiri sesungguhnya merupakan aplikasi dari etika pribadi para pelaku bisnis itu sendiri dalam dunia usaha. Sonny Keraf dalam bukunya ”Etika Bisnis” menyatakan bahwa dalam tingkat tertentu etika lalu menjadi sebuah ilmu yang sangat luas dan kompleks dan berkaitan dengan seluruh bidang dan aspek kehidupan manusia.
Etika bisnis menjadi semakin penting ketika sistem perekonomian sendiri memberikan tempat bagi adanya perdagangan bebas, persaingan harga dan monopoli perdagangan. Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom.
Dalam bukunya yang berjudul ” Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya”, DR. A. Sonny Keraf membagi etika dalam tiga norma umum yaitu : Norma sopan santun, norma hukum dan ketiga adalah norma moral. Rendahnya etika para pelaku bisnis terjadi karena rendahnya pemahaman dari norma – norma umum yang sangat mendasar tersebut. Etika adalah suatu yang terbentuk dari proses yang cukup panjang, bahkan sepanjang dari usia seseorang itu sendiri. Etika adalah pelajaran yang di peroleh seseorang mulai dari lahir, sampai tingkat dewasa.
Jadi untuk mendapatkan suatu hasil yang baik dari wujud etika dari seseorang harus mulai di pupuk dari usia kecil. Pelajaran tentang norma-norma dasar harus mulai ditanamkan mulai dari anak usia balita dan berkesinambungan sampai usia dewasa. Dari usia diman ia belum bisa membedakan mana benar – mana salah,sampai dengan usia dimana ia dapat membedakan mana yang benar mana yang salah.
Sonny Keraf juga membagi etika berbisnis dalam beberapa prinsip sebagai berikut :
1.     Prinsip Otonomi, adalah sikap dan kemampuan menusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya paling baik untuk dilakukan
2.      Prinsip Kejujuran, dalam mengikat perjanjian dan kontra k tertentu, senmua pihak (pelaku bisnis dalam hal ini) secara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing-masing pihak secara tulus dan jujur dalam membuat perjanjian dan kontrak dan lebih dari itu serius serta tulus dan jujur melaksanakan janjinya.
3.   Prinsip Keadilan, yang menuntut agar setiap orang diperlakukan dengan sama sesuai dengan peraturan yang adil dan sesuai dengan kriteria rasional obyektif yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Prinsip saling menguntungkan, menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga meguntungkan semua pihak.
5.    Integritas Moral, dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar ia perlu menjalankan perusahaan bisnis dengan tetap menjalankan nama baiknya atau nama perusahaannya.
Mengapa para pelaku kejahatan masih saja berani menyimpang dan berbuat curang dalam kegiatan bisnisnya, Jika ditelusur dari sudut pandang etika bisnis, akar dari semua permasalahan praktek KKN yang melanda dunia perbankan saat ini adalah adanya krisis moral yang sudah begitu parah. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis .
Seberapapun kuatnya sanksi yang diberikan tak akan mampu membuat gentar para penjahat. UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Pasal 49 ayat 1 dengan tegas menyatakan : “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
1.   Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.
2.   menghilangkan atau tiidak memasukkan atau menyebabkan ttidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.
3.  mengubah, atau menghilangkan, menyembunyikan menghapus atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam leporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000 (dua ratus miliar).
Bagi beberapa orang, keberadaan UU serta sanksi hukum yang diancamkan mungkin saja tidak begitu menakutkan. Jika menilik catatan kasus – kasus sebelumnya ,pelaku yang berhasil tertangkap nyata-nyata tidak diproses secara tegas. Sulitnya menguak dan membuktikan tindak kejahatan perbankan yang melibatkan orang dalam juga menjadi kendala tersendiri.
Seberapapun ketatnya pengawasan akan selalu dicari celah-celah untuk bisa berbuat kecurangan demi keuntungan diri sendiri. Sistem audit yang ada baik internal perusahaan maupun ekternal sudah sedemikian ketatnya mengawasi kegiatan perbankan, namun ada saja celah yang bisa dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mengambil keuntungan.. Petugas auditor juga tidak bisa selamanya 24 jam bisa mengawasi operasional bank. Hal ini dimanfaatkan oleh para pelaku yang sudah berpengalaman operasional untuk melaksanakan aksinya selama bertahun- tahun dan merugikan perusahaan dan negara triliunan rupiah.
KESIMPULAN
Jadi, jika dilihat dari nilai konsep etika bisnis, etika seseorang pelaku bisnis dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika di masih merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh bukan seorang pelaku bisnis. Jika para pelaku bisnis sudah memiliki bekal etika bawaan sebagai seorang yang berbudi luhur, maka bisa diharapkan dunia bisnis akan di huni oleh orang – orang yang jujur, dan sangat menghargai kepercayaan orang lain yang di berikan kepadanya. Dunia bisnis akan sangat kondusif, tanpa di nodai oleh praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan , antara lain:
1.      Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis.
2.      Etika seseorang dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika dirinya masih merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh.

DAFTAR PUSTAKA

No comments:

Post a Comment