KKN
(KORUPSI,KOLUSI,NEPOTISME
Lia Pujianingsih
Sistem Informasi
STTI NIIT I-Tech, Jakarta
ABSTRAKSI
Tulisan ini membahas tentang Korupsi, Kolusi dan Neputisme,
atau lebih kita kenal dengan sebutan KKN. KKN adalah segaram bentuk tindakan
melanggar hukum yang dapat merugikan negara. Penyebab utama tumbuhnya KKN dalam
suatu negara disebabkan oleh kurangnya transparansi pemerintah kepada
publik sehingga dapat menyalahgunakan kekuasaan yang ada. Di Indonesia KKN telah menjadi penyakit sosial yang menjamur, hal ini sungguh
bertentangan dengan tujuan pemerintah yang ingin mewujudkan keadilan,
kemakmuran dan kesejahtraan sosial, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok
masyarakat kecil seperti fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar.
Banyak sekali dampak dari KKN antara lain, menurunnya tingkat kesejahteraan,
mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal,
bahkan rusaknya moral masyarakat.Dari ketiga macam tindakan melanggar
hukum dalam KKN yang paling merugikan negara adalah korupsi, karena korupsi
adalah tindakan dimana pejabat publik menggunakan kekuasaannya secara tidak
legal untuk memperkaya diri sendiri
Kata kunci : KKN, Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Hukum
ABSTRACT
This paper discusses the about
Corruption, Collusion and Neputisme, or more we are familiar with designations
KKN. Segaram form of corruption is illegal to harm the state. The main causes
of corruption in a country's growth is caused by a lack of government
transparency to the public so that they can abuse the powers that be. In
Indonesia, corruption has become a flourishing social ills, it is quite
contrary to the government's goal is to bring about justice, prosperity and
social prosperity, and even meet the basic rights of small community groups
such as the poor, the elderly and abandoned children. A lot of the impact of
corruption, among others, reduced levels of prosperity, the high cost of
education and health, the loss of qualified human capital, even the destruction
of the three kinds of moral masyarakat.Dari unlawful acts in the most adverse
state corruption is corruption, because corruption is an act which the officer
public to use their power to illegally enrich themselves
Keywords: Corruption, Collusion
and Nepotism Corruption, Law
PENDAHULUAN
Korupsi, Kolusi dan Neputisme, atau lebih kita kenal dengan
sebutan KKN. KKN adalah segaram bentuk tindakan melanggar hukum yang dapat
merugikan negara. Penyebab utama tumbuhnya KKN dalam suatu negara disebabkan
oleh kurangnya transparansi pemerintah kepada
publik sehingga dapat menyalahgunakan kekuasaan yang ada. Di Indonesia KKN telah
menjadi penyakit sosial yang menjamur, hal ini sungguh bertentangan dengan
tujuan pemerintah yang ingin mewujudkan keadilan, kemakmuran dan
kesejahtraan sosial, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat kecil
seperti fakir miskin, kaum jompo dananak-anak terlantar. Banyak sekali dampak
dari KKN antara lain, menurunnya tingkat kesejahteraan, mahalnya biaya pendidikan
dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, bahkan rusaknya moral
masyarakat.Dari ketiga macam tindakan melanggar hukum dalam KKN yang paling
merugikan negara adalah korupsi, karena korupsi adalah tindakan dimana pejabat
publik menggunakan kekuasaannya secara tidak legal untuk memperkaya diri
sendiri. Dalam kasus korupsi, kebanyakan yang dikorupsi ialah uang negara. Hal
ini juga mengakibatkan pembangunan ekonomi negara menjadi sulit sehingga
tingkat kesejahtraan rakyat terutama rakyat kecil semakin menurun. Karena
tingkat kesejahtraan semakin menurun, rakyat kecil susah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Di sini timbul tindakan-tindakan kejahatan lainnya
seperti pencurian, penjarahan, perampokan bahkan pembunuhan. Hal ini
dilakukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ini semua adalah
dampak dari korupsi yang menimbulkan akibat yang begitu besar
bagi kehidupan.
Aktor utama terjadinya korupsi adalah kurangnya transparansi
pemerintah kepada publik tentang pengambilan keputusan, pengambilan
kebijakan yang tidak memperhatikan rakyat, lemahnya profesi dan tertib hukum.
Tidak transparansinya pemerintah dalam mengambil kebijakan dapat menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik yang ingin menguntungkan
dirinya sendiri. Kebanyakan penyalahan kekuasaan tersebut mengarah pada korupsi
yang pada akhirnya nanti dapat menimbulkan kekacauan yang begitu besar,
apa lagi dengan lemahnya profesi dan tertib hukum akibat yang ditimbulkan akan
lebih besar lagi. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau kurang kritis
terhadap pemerintah juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
korupsi. Hal ini menyebabkan pejabat publik dapat dengan mudah
menyalahgunakan kekuasaannya karena tidak ada tanggapan
atau perhatian dari rakyat tentang apa-apa saja kebijakan yang diambil,
sehingga pejabat tersebut dapat membuat keputusan yang hanya menguntungkan
dirinya sendiri. Oleh sebab itu perhatian masyarakat terhadap pemerintah
juga harus lebih ditingakatkan untuk menghindari adanya praktik KKN terutama
korupsi.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari
kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus, politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana
korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
§
perbuatan melawan hukum;
§
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
§
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
§
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis
tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
§
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
§
penggelapan dalam jabatan;
§
pemerasan dalam jabatan;
§
ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara);
§
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri
atau penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau
korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan
korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi,
yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang
politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau
tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas atau kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi/tidak.
Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya.
Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya.
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi
kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian
pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai
koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.
Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada
sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal.
Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara
dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai
suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang
melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan
tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di
tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian
dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut
korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik
dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk
menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing),
memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya
yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak
korupsi.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi
bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi
sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian
uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini
saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk
membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan. Tergantung dari negaranya
atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.
Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun
ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kolusi di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi
di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama
untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu
bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja
sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel
adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi
tersembunyi. kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat
kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang
diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala
urusannya menjadi lancer.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang
berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik
dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak
mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya
seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat
keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut
digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III,
dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah
satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu
loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat
Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian
menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua
keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini
akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan
Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua
paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan
kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu
dapat dijadikan seorang Kardinal.
Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di
Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di bidang perbankan khususnya,
keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh menjerat atau
membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus
yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.
Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai
saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun tidak selesai. Para tersangka
pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan bahkan ada yang di vonis
bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi,
terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus
baru- baru ini.
Kasus perbankan lain yang cukup menarik perhatian
masyarakat adalah LC fiktif yang merugikan Negara sampai 1.7 Triliun, jumlah
uang yang cukup fenomental jika dilihat dari jumlah pelaku yang beberapa
gelintir saja. Ini lebih besar dari laba bersih setahun yang bisa diraih BNI
tahun 2004.
Peraturan yang mengatur bisnis perbankan sudah cukup
lengkap. Sebut saja UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU
No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi
pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Sistem audit baik
Internal maupun eksternal juga sudah sedemikian lengkap mengatur pengawasan
operasional perbankan. Namun masih saja bisa di cari-cari celah untuk melakukan
penyimpangan.
Informasi dari berbagai media menyatakan bahwa
jumlah para pelaku kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari kalangan
pebisnis di Indonesia masih cukup banyak. Padahal sudah banyak Undang – undang
dan aturan yang merupakan rambu–rambu yang mengatur tentang kegiatan usaha .
Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi
Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika
Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang
demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai
tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat
melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan),
karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat
sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi
sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh
rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.
Konsep politik semacam itu sudah barang tentu
berbeda dengan apa yang ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep
kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak
mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja
atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan
kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau
keluarganya.
Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi,
kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia
rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi
dari kekuasaannya tersebut.
Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi
yang dilontarkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam siaran pers yang dikeluarkan
oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15
Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme
antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan
istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian
fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada
suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau
konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:
1. Pelaksanaan pelelangan yang
tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau
dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
2. Fasilitas kredit, pajak, bea
masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat
aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif.
3. Penetapan harga penjualan atau
ruislag yang menyimpang.
Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling
bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses
kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek
kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan
kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi
terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh
elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang
sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut
untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang
dilakukannya.
Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah
melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus
melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentinngan
pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem
pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara
umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap
birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal
yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar
dan jalur distribusi.
Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang
para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka.
Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal
antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi
dari korupsi. Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan
ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh
keuntungan untuk membiayai kepentingankepentingan politik yang akan mereka
raih.
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya
terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan
kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah
dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri,
sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau
bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang
dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya.
Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro,
yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap
perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal
pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya
pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab
terhadap pintu gerbang tol.
Sonny Keraf membagi pengertian etika menjadi dua,
yaitu:
1. Etika sebagai Moralitas, Etika
(Yunani=ethos) = kebiasaan hidup / adat istiadat, berkaitan dengan nilai-nilai.
Moralitas (latin=mos)=adat / kebiasaan.n Jadi etika adalah suatu sitem nilai
tentang bagaimana manusia harus hidup yg terwujud dalam pola perilaku ajeg dan
terulang dalam kurun waktu lama sebagai kebiasaan.
2. Etika sebagai ilmu , yaitu ilmu
yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan
etika dalam pengertian diatas.
Posisi teori Etika Bisnis dalam kancah dunia bisnis
di Indonsesia Etika bisnis sendiri sesungguhnya merupakan aplikasi dari etika
pribadi para pelaku bisnis itu sendiri dalam dunia usaha. Sonny Keraf dalam
bukunya ”Etika Bisnis” menyatakan bahwa dalam tingkat tertentu etika lalu
menjadi sebuah ilmu yang sangat luas dan kompleks dan berkaitan dengan seluruh
bidang dan aspek kehidupan manusia.
Etika bisnis menjadi semakin penting ketika sistem
perekonomian sendiri memberikan tempat bagi adanya perdagangan bebas,
persaingan harga dan monopoli perdagangan. Dalam bahasa Kant, etika berusaha
menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara
heteronom.
Dalam bukunya yang berjudul ” Etika Bisnis :
Tuntutan dan Relevansinya”, DR. A. Sonny Keraf membagi etika dalam tiga norma
umum yaitu : Norma sopan santun, norma hukum dan ketiga adalah norma moral.
Rendahnya etika para pelaku bisnis terjadi karena rendahnya pemahaman dari
norma – norma umum yang sangat mendasar tersebut. Etika adalah suatu yang
terbentuk dari proses yang cukup panjang, bahkan sepanjang dari usia seseorang
itu sendiri. Etika adalah pelajaran yang di peroleh seseorang mulai dari lahir,
sampai tingkat dewasa.
Jadi untuk mendapatkan suatu hasil yang baik dari
wujud etika dari seseorang harus mulai di pupuk dari usia kecil. Pelajaran
tentang norma-norma dasar harus mulai ditanamkan mulai dari anak usia balita
dan berkesinambungan sampai usia dewasa. Dari usia diman ia belum bisa
membedakan mana benar – mana salah,sampai dengan usia dimana ia dapat
membedakan mana yang benar mana yang salah.
Sonny Keraf juga membagi etika berbisnis dalam
beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Prinsip Otonomi, adalah sikap dan
kemampuan menusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan
kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya paling baik untuk dilakukan
2. Prinsip Kejujuran, dalam mengikat
perjanjian dan kontra k tertentu, senmua pihak (pelaku bisnis dalam hal ini)
secara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing-masing pihak secara
tulus dan jujur dalam membuat perjanjian dan kontrak dan lebih dari itu serius
serta tulus dan jujur melaksanakan janjinya.
3. Prinsip Keadilan, yang menuntut
agar setiap orang diperlakukan dengan sama sesuai dengan peraturan yang adil
dan sesuai dengan kriteria rasional obyektif yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Prinsip saling menguntungkan,
menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga meguntungkan semua
pihak.
5. Integritas Moral, dihayati
sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar ia
perlu menjalankan perusahaan bisnis dengan tetap menjalankan nama baiknya atau
nama perusahaannya.
Mengapa para pelaku kejahatan masih saja berani
menyimpang dan berbuat curang dalam kegiatan bisnisnya, Jika ditelusur dari
sudut pandang etika bisnis, akar dari semua permasalahan praktek KKN yang
melanda dunia perbankan saat ini adalah adanya krisis moral yang sudah begitu
parah. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi
faktor utama terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis .
Seberapapun kuatnya sanksi yang diberikan tak akan
mampu membuat gentar para penjahat. UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan
penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang
segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Pasal 49
ayat 1 dengan tegas menyatakan : “Anggota dewan komisaris, direksi, atau
pegawai bank yang dengan sengaja:
1. Membuat atau menyebabkan adanya
pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.
2. menghilangkan atau tiidak
memasukkan atau menyebabkan ttidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau
dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank.
3. mengubah, atau menghilangkan,
menyembunyikan menghapus atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam
pembukuan atau dalam leporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,
laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah,
mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan
tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun, serta denda sekurang-kurangnya
Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000
(dua ratus miliar).
Bagi beberapa orang, keberadaan UU serta sanksi
hukum yang diancamkan mungkin saja tidak begitu menakutkan. Jika menilik
catatan kasus – kasus sebelumnya ,pelaku yang berhasil tertangkap nyata-nyata
tidak diproses secara tegas. Sulitnya menguak dan membuktikan tindak kejahatan
perbankan yang melibatkan orang dalam juga menjadi kendala tersendiri.
Seberapapun ketatnya pengawasan akan selalu dicari
celah-celah untuk bisa berbuat kecurangan demi keuntungan diri sendiri. Sistem
audit yang ada baik internal perusahaan maupun ekternal sudah sedemikian
ketatnya mengawasi kegiatan perbankan, namun ada saja celah yang bisa
dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mengambil keuntungan.. Petugas auditor juga
tidak bisa selamanya 24 jam bisa mengawasi operasional bank. Hal ini
dimanfaatkan oleh para pelaku yang sudah berpengalaman operasional untuk melaksanakan
aksinya selama bertahun- tahun dan merugikan perusahaan dan negara triliunan
rupiah.
KESIMPULAN
Jadi, jika dilihat dari nilai konsep etika bisnis,
etika seseorang pelaku bisnis dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil,
ketika di masih merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh bukan seorang pelaku
bisnis. Jika para pelaku bisnis sudah memiliki bekal etika bawaan sebagai
seorang yang berbudi luhur, maka bisa diharapkan dunia bisnis akan di huni oleh
orang – orang yang jujur, dan sangat menghargai kepercayaan orang lain yang di
berikan kepadanya. Dunia bisnis akan sangat kondusif, tanpa di nodai oleh
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dari
uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan , antara lain:
1. Rendahnya moralitas para pelaku
bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kecurangan dan
berbagai penyimpangan dalam bisnis.
2. Etika seseorang dapat mulai
ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika dirinya masih merupakan sosok pibadi
yang lugu dan utuh.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment